Semarang, wartaindonesianews.co.id. --Bahwa Adiksi adalah Bukan Aib, Tapi Penyakit yang Mengancam Peradaban Kita berdiri di persimpangan jalan sejarah. Ancaman narkotika bukan lagi sekadar masalah kriminalitas, melainkan krisis kesehatan publik dan moral kolektif yang menggerogoti fondasi Indonesia Emas 2045. Ketergantungan narkoba, yang secara ilmiah diakui sebagai penyakit otak kronis dan kambuhan, telah memenjarakan potensi bangsa. Selama ini, kita terlalu fokus menghukum korban, bukan menyembuhkan penyakitnya dan memutus rantai perdagangannya.
Untuk membalikkan keadaan, kita memerlukan Orkestrasi Pencegahan yang tidak hanya mengandalkan penegak hukum, tetapi mengikat seluruh simpul masyarakat, dimulai dari pendidikan dan kekuatan spiritual.
Kurikulum Integrasi: Menjadikan Sekolah Benteng Pertahanan
Pencegahan harus dimulai dari akarnya. Sekolah dan lembaga pendidikan adalah benteng pertahanan pertama. Kurikulum anti-narkotika tidak boleh lagi menjadi sekadar pelajaran hafalan, melainkan harus diintegrasikan sebagai bagian dari pemahaman hidup dan moralitas.
1. Integrasi pada Ilmu Pengetahuan (Sains/Kedokteran):
Kita harus mengajarkan ilmu pasti tentang bahaya narkoba, yaitu Neuroscience of Addiction. Pelajar perlu memahami bagaimana zat adiktif merusak sistem saraf, memanipulasi reward circuit di otak, dan menghilangkan kendali diri. Pengetahuan berbasis bukti ini menghilangkan mitos dan memperkuat rasionalitas.
2. Integrasi pada Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (PAB):
Inilah peran sentral Alim Ulama. Adiksi narkoba adalah wujud kelemahan spiritual dan penyimpangan dari fitrah kemanusiaan. Kurikulum PAB harus menekankan bahwa menjaga jiwa (hifz an-nafs) dan menjaga akal (hifz al-'aql) adalah bagian fundamental dari tujuan syariah (maqasid shariah). Dengan demikian, menjauhi narkoba bukan hanya ketaatan hukum negara, tetapi juga kewajiban moral dan ibadah yang mendekatkan diri pada Tuhan. Ajaran agama harus menjadi sumber kekuatan resilience dan penolakan terhadap pengaruh buruk.
3. Integrasi pada Pembentukan Karakter dan Skill Hidup:
Kurikulum harus dilengkapi dengan life skills untuk menghadapi tekanan sosial (peer pressure), mengelola stres, dan mengembangkan literasi digital yang sehat. Ini mengajarkan peserta didik untuk tidak mencari pelarian pada zat adiktif, melainkan pada kegiatan positif dan solusi yang konstruktif.
Kapita Selekta dan Kolaborasi Lintas Klaster: Aksi Kolektif Pencegahan yang efektif membutuhkan kolaborasi yang rapi dan terarah di setiap klaster masyarakat. Kapita Selekta (pokok-pokok pilihan) dalam pencegahan harus menjadi gerakan moral dan aksi nyata.
1. Klaster Keluarga dan Masyarakat (Peran Tokoh Agama):
Alim Ulama, Pastor, dan tokoh agama adalah agen perubahan tercepat. Mereka harus memasukkan pesan anti-narkotika dalam setiap khutbah, ceramah, dan majelis taklim. Peran mereka adalah membangun imunitas komunal dengan memperkuat ikatan sosial, memonitor lingkungan, dan memberikan dukungan moral langsung kepada keluarga yang rentan.
2. Klaster Kesehatan dan Rehabilitasi (Peran Rumah Sakit):
Institusi kesehatan, seperti RSI Sultan Agung, harus menjadi Pusat Deteksi Dini dan Konseling. Puskesmas harus menjadi garda terdepan untuk edukasi dan rujukan cepat. Ketergantungan harus dideteksi dini dan ditangani secara klinis, bukan menunggu penangkapan. Pendekatan ini adalah inti dari dekriminalisasi administratif yang kita perjuangkan: alihkan pecandu dari Lapas ke Klinik.
3. Klaster Penegakan Hukum (Peran BNN/Polri):
Penegak hukum harus difokuskan 90% energinya pada pemutusan jaringan bandar dan peredaran gelap. Pecandu murni adalah pasien yang dirujuk ke sistem kesehatan, bukan target penangkapan. Kolaborasi PSKHNK (Fakultas Hukum & RSI) membantu menyediakan Pedoman Gramasi Medis-Legal yang menjadi panduan teknis bagi penyidik untuk membedakan secara obyektif antara pengguna dan pengedar.
Visi PSKHNK: Dari Studi Menjadi Solusi Pusat Studi Kajian Hukum Narkoba dan Kesehatan (PSKHNK) yang digagas oleh RSI Sultan Agung dan Fakultas Hukum UNISSULA hadir untuk menyediakan bukti ilmiah dan kerangka hukum yang dibutuhkan para pengambil keputusan. Kami bertujuan untuk:
Menyusun Panduan Teknis: Membuat panduan yang praktis bagi Jaksa, Hakim, dan Polisi untuk menerapkan diversi dan restorative justice berbasis rehabilitasi.
Mengadvokasi Anggaran: Mendesak pemerintah untuk mengalihkan dana penahanan ke investasi kuratif dan preventif.
Mewujudkan Indonesia Emas 2045 dengan SDM yang sehat dan unggul hanya bisa tercapai jika kita mengakhiri War on Drugs yang gagal dan memulai Gerakan Nasional Berbasis Ilmu Pengetahuan dan Moral. Mari kita jadikan pencegahan adiksi sebagai tanggung jawab kolektif dan amal jariyah kita bersama.
Pewarta: Nur S
