PANGANDARAN - Wartaindonesianews. Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, resmi melaporkan secara tertulis kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Purbaya Yudhi Sadewa, terkait berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Laporan ini merupakan tindak lanjut atas aduan sebelumnya yang telah disampaikan ke Kementerian Dalam Negeri.
Dalam surat bernomor 028/SRS/X/2025 tertanggal 13 Oktober 2025, Tedi menyampaikan desakan agar Kementerian Keuangan melakukan penindakan tegas terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Pangandaran Tahun Anggaran 2024 dengan Nomor 27B/LHP/XVIII.BDG/05/2025 tertanggal 23 Mei 2025.
Menurut Tedi, laporan BPK tersebut memuat sejumlah temuan serius yang mencerminkan ketidaktertiban fiskal dan lemahnya tata kelola keuangan Daerah. (Rabu, 05/11/2025).
“BPK menemukan banyak pelanggaran yang sangat fundamental. Mulai dari proses penganggaran, defisit, dan pembiayaan yang tidak sesuai ketentuan, hingga saldo Kas Daerah sebesar Rp188,4 miliar yang berisiko tidak dapat dipulihkan,” tegas Tedi dalam keterangannya.
Ia menjelaskan, selain itu terdapat realisasi belanja honorarium TAPD yang tidak sesuai ketentuan senilai Rp2,1 miliar, belanja bantuan sosial BPBD sebesar Rp1,9 miliar yang tidak sesuai kondisi sebenarnya, serta kelebihan pembayaran belanja modal infrastruktur mencapai Rp3,3 miliar. Tidak hanya itu, utang jangka pendek dan belanja Daerah juga tercatat mencapai Rp243,7 miliar, yang menunjukkan praktik fiskal yang tidak tertib dan berulang dari tahun ke tahun.
“Temuan-temuan tersebut jelas melanggar prinsip pengelolaan keuangan Negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun 2003, UU No.1 Tahun 2004, dan PP No.12 Tahun 2019. Semua aturan itu menegaskan bahwa keuangan Daerah harus dikelola secara tertib, efisien, transparan, dan bertanggung jawab,” lanjut Tedi.
Sarasa Institute menilai bahwa persoalan ini bukan lagi sekadar administratif, melainkan mengarah pada pelanggaran sistemik dalam pengelolaan APBD yang telah mengakibatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) selama tiga tahun berturut-turut. Karena itu, Tedi mendesak Menteri Keuangan untuk menjalankan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan.
Dalam laporannya, Tedi Yusnanda N menyampaikan tiga poin desakan utama:
1. Menegakkan sanksi administratif dan keuangan terhadap Pemerintah Kabupaten Pangandaran atas ketidakpatuhan berulang dalam pengelolaan APBD.
2. Melakukan pemeriksaan lanjutan bersama Aparat Penegak Hukum (KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian) jika ditemukan indikasi kuat tindak Pidana Korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
3. Meninjau kembali kebijakan transfer ke Daerah (DAU/DAK) sampai terdapat tindak lanjut nyata terhadap rekomendasi BPK.
“Kami menilai Kementerian Keuangan tidak boleh menutup mata terhadap ketidakpatuhan yang terus berulang. Penundaan atau pemotongan transfer ke Daerah adalah langkah konstitusional jika terbukti ada pelanggaran terhadap rekomendasi BPK,” ujarnya.
Tedi menambahkan, langkah ini bukan semata bentuk pengawasan, tetapi bagian dari upaya menegakkan integritas fiskal dan memastikan keadilan publik dalam penggunaan Uang Rakyat. Ia juga berharap tindakan tegas dari Menteri Purbaya akan menjadi preseden Nasional bagi Daerah lain agar lebih disiplin dan transparan dalam mengelola keuangan Daerah.
“Kami percaya tindakan tegas dari Kementerian Keuangan akan menjadi sinyal kuat bahwa Negara hadir untuk melindungi uang rakyat dan menegakkan tata kelola fiskal yang bersih,” tutupnya.
Sebelumnya, Sarasa Institute juga telah melaporkan permasalahan serupa ke Kementerian Dalam Negeri, namun belum melihat adanya langkah konkret. Laporan ke Kementerian Keuangan ini menjadi bagian dari upaya strategis lembaga tersebut untuk memastikan adanya tindak lanjut nyata terhadap rekomendasi BPK dan penegakan hukum atas dugaan penyimpangan APBD di Kabupaten Pangandaran.
Pewarta: Nur Z
