Sleman, wartaindonesianews.co.id — Kamis, 31/7/2025. Di usia senjanya, Suyati (60), perempuan paruh baya warga Padukuhan Glendongan, Kalurahan Caturtunggal, Kapanewon Depok, Kabupaten Sleman, justru harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Setelah menjadi korban dugaan penganiayaan, kini ia juga menjadi korban tekanan dan intimidasi dari orang-orang terdekatnya.
Insiden memilukan ini bermula dari laporan Suyati ke Polsek Depok Barat Polresta Sleman atas dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pria bernama Pulung Widodo. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, Suyati justru terdesak untuk menandatangani surat perdamaian—yang bukan lahir dari kehendaknya sendiri.
Ironisnya, surat kesepakatan damai sepihak itu juga mendapat legitimasi dari Ketua RT setempat, lengkap dengan cap resmi RT. Padahal, proses tersebut dilakukan tanpa pendamping hukum dan dalam kondisi psikis korban yang tertekan.
Lebih dari sekadar luka fisik, Suyati merasakan kehancuran mental yang mendalam. Ia merasa dilecehkan, direndahkan, dan dipaksa bungkam demi menutupi luka yang seharusnya disembuhkan dengan keadilan, bukan tekanan.
Tak ingin menyerah, Suyati sudah melangkah lebih jauh. Ia melaporkan kasus ini ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Provinsi DIY. Di sana, ia menyerahkan bukti foto-foto kekerasan yang dialaminya dan memberikan keterangan detail terkait peristiwa tersebut.
Langkah kecil dari seorang perempuan yang terpojok, namun tetap memilih bersuara, patut diapresiasi. Karena dalam ketakutan dan tekanan, Suyati menunjukkan bahwa keberanian bukan tentang tidak takut, tapi tetap bertahan meski takut.
Tim media akan terus mengawal kasus ini hingga terang. Karena keadilan tidak boleh dikompromikan, apalagi dibungkam di bawah ancaman.
(Redaksi)