PANGANDARAN-Wartanasionalnews.co.id -- Terbongkarnya kasus tiket palsu di objek wisata Pangandaran pada awal Juli 2025 memantik keprihatinan serius dari kalangan pemerhati kebijakan publik.
Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., menegaskan bahwa modus pemalsuan tiket masuk ini bukan hanya pungutan liar biasa, melainkan dapat masuk kategori tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara.
Dalam kasus yang terungkap, oknum petugas diduga menjual tiket fisik dengan nominal cetak lebih tinggi, seumpama Rp 1 juta, padahal saat discan pada sistem resmi hanya terbaca Rp 600 ribu. Praktik ini diduga melibatkan teknologi palsu seperti mesin EDC tidak resmi atau perangkat elektronik ilegal yang memalsukan data transaksi.
“Ini bukan sekadar pungli recehan. Ini bisa dikualifikasikan sebagai korupsi sesuai Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena ada unsur ‘secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara’,” ujar Tedi Yusnanda.
Ia juga menegaskan, dalam kondisi APBD Pangandaran yang sedang mengalami defisit, praktik ini sangat merusak. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor wisata adalah salah satu sumber penting. Setiap rupiah yang bocor akibat manipulasi tiket langsung mengurangi pendapatan daerah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik.
“Jangan terkecoh dengan alibi yang biasa muncul ‘baru beberapa kali dilakukan’. Biasanya, itu narasi untuk menenangkan publik. Patut diduga praktik ini sudah berjalan lama, terstruktur, dan sistematis,” kata Tedi.
Ia mendorong aparat penegak hukum agar melakukan investigasi menyeluruh dengan pendekatan follow the money.
“Follow the money, adalah teknik investigasi yang menelusuri aliran uang hasil kejahatan, memetakan siapa yang menerima, menyimpan, atau memanfaatkan keuntungan ilegal. Metode ini mengungkap jaringan pendanaan, pencucian uang, dan menelanjangi struktur organisasi kejahatan sampai ke aktor intelektualnya," ujar Tedi.
“Kalau tidak diterapkan strategi ini, kasus bisa berhenti hanya pada operator lapangan. Padahal mesin palsu, pemalsuan sistem, dan distribusi uang hasil kejahatan tidak mungkin terjadi tanpa perencanaan matang. Pelaku utama bisa saja orang yang justru bersembunyi di balik jabatan atau pengaruh,” tegas Tedi.
Selain itu, ia menekankan pentingnya penggunaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan untuk menjerat semua pihak yang membantu, menyuruh melakukan, atau turut serta dalam kejahatan ini.
“Bahkan Pasal 15 UU Tipikor juga relevan untuk mereka yang melakukan persekongkolan atau percobaan untuk melakukan korupsi,” katanya.
Tedi juga menyebut pengusutan tuntas kasus ini akan menjadi momen penting bagi Polres Pangandaran yang belum lama memiliki kantor baru.
“Ini saatnya membuktikan kehadiran Polres Pangandaran benar-benar bermanfaat bagi rakyat. Jangan sampai ini menguap tanpa kejelasan. Jika diungkap menyeluruh, ini akan menjadi kado terindah Polres Pangandaran untuk masyarakat Pangandaran,” ujarnya.
Ia juga mendorong DPRD Kabupaten Pangandaran untuk menggunakan fungsi pengawasannya. Menurutnya, pengawasan terhadap potensi kerugian negara adalah mandat konstitusional DPRD.
Sesuai Pasal 154 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan APBD.
“DPRD selayaknya memanggil pihak-pihak terkait, melakukan rapat dengar pendapat, membentuk panitia khusus jika perlu, dan memastikan uang rakyat tidak hilang dicuri oleh oknum,” ujarnya.
Tedi menilai keterlibatan DPRD bukan hanya soal formalitas politik, tetapi bukti nyata bahwa lembaga legislatif hadir melindungi kepentingan publik dan mengawal PAD.
“Ini saatnya pembuktian untuk semua. Jangan sampai pariwisata Pangandaran yang kita banggakan rusak oleh korupsi kelas terencana,” pungkasnya.
Hingga saat ini, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan intensif. Masyarakat berharap pengusutan tidak berhenti di permukaan, tapi mampu membongkar semua pelaku, termasuk aktor intelektual yang menggerakkan praktik korupsi ini.
Pewarta: Nur Z