SURABAYA, wartaindonesianews.co.id - Pendapatan daerah merupakan urat nadi pembangunan. Tanpa pendapatan yang kuat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak akan mampu menopang program-program pro-rakyat yang telah direncanakan.
Legislator PAN yang juga Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Dr. Suli Da'im, MM melihat problem mendasar yang dilihat dari tahun ke tahun adalah masih kuatnya ketergantungan Jawa Timur terhadap pajak sebagai sumber utama pendapatan. "Padahal, pajak memiliki keterbatasan. Terlalu bergantung pada pajak justru berisiko menambah beban rakyat," urai Kang Suli sapaan akrab Suli Da'im, Selasa (9/9/2025).
Pajak kendaraan bermotor, pajak rokok, maupun pajak lainnya memang masih bisa diandalkan, tetapi bukan berarti tidak boleh dikritisi. "Prinsipnya, pajak harus dikelola secara efisien, dengan biaya pemungutan sekecil mungkin, agar hasilnya maksimal untuk pembangunan," ujar Suli Da'im yang juga Wakil Ketua MPID PWM Jatim.
Selain itu, jelas Suli disinilah letak masalah yang harus segera kita benahi. Unit pemungut pajak, seperti UPT Samsat, perlu dievaluasi menyeluruh: berapa jumlah pegawainya, sejauh mana penggunaan teknologi untuk mempercepat pelayanan, bagaimana mekanisme kerjasama dengan pihak ketiga, serta kinerja keseluruhan. Jika remunerasi atau tunjangan kinerja diberikan, maka itu harus berbasis prestasi, bukan sekadar rutinitas. "Namun, saya menekankan bahwa akar persoalan sebenarnya bukan hanya soal teknis pemungutan pajak," tutur Suli Da'im.
Lebih dari itu, Pemprov Jatim menurut Suli Da'im perlu serius mencari sumber pendapatan alternatif yang lebih berkelanjutan. Di sinilah seharusnya peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menonjol. "Sayangnya, hingga hari ini kita melihat hanya segelintir BUMD yang benar-benar sehat. Bank Jatim, misalnya, bisa menjadi contoh bagaimana sebuah BUMD mampu memberikan kontribusi nyata dalam bentuk dividen untuk menguatkan APBD," katanya.
Pihaknya, mempertanyakan bagaimana dengan BUMD lain? Banyak yang justru masih terus “disuapi” dengan dana APBD, padahal seharusnya mereka memberi pemasukan, bukan menjadi beban. "Kondisi ini jelas tidak sehat. BUMD bukanlah lembaga sosial yang harus terus diberi subsidi, melainkan instrumen ekonomi daerah yang didesain untuk mencetak keuntungan dan mengembalikannya kepada rakyat melalui APBD," imbuh politisi gaek PAN ini.
Menurutnya, bila pola seperti ini tidak segera diubah, maka BUMD hanya akan menjadi “proyek” rutin tanpa kontribusi signifikan bagi pembangunan Jawa Timur. "Saya ingin menegaskan bahwa kritik terhadap BUMD ini bukan kali pertama saya sampaikan. Sudah berulang kali Fraksi PAN menekankan pentingnya optimalisasi BUMD," tandasnya Legislator asal Dapil Jatim IX (Kabupaten Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Magetan dan Ngawi) ini.
Menurut pria kelahiran Kabupaten Lamongan, hingga kini, hasilnya belum terlihat nyata. Karena itu, saya mendesak agar Gubernur benar-benar memberikan perhatian serius terhadap tata kelola BUMD: mulai dari manajemen, transparansi, hingga strategi bisnis yang jelas. "Dengan pengelolaan yang tepat, BUMD dapat menjadi sumber pendapatan baru yang lebih stabil, tidak membebani rakyat, sekaligus membuka lapangan kerja," bebernya.
Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa Pemprov Jatim memiliki banyak aset dan potensi ekonomi, tinggal bagaimana keberanian politik dan manajerial itu diwujudkan. "Rumah Sakit milik pemerintah provinsi seperti RSU Dr. Soetomo, RS. Syaiful Anwar, RS. Dr. Soedono sebagai rumah sakit yang sudah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) semestinya sudah harus memberikan dividen dan tidak lagi meminta asupan dana APBD," terangnya.
Masih menurut Kang Suli, sudah saatnya kita keluar dari jebakan ketergantungan pada pajak. APBD Jawa Timur harus berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh, yaitu optimalisasi aset daerah dan BUMD yang produktif. "Rakyat menunggu, dan tanggung jawab kita adalah memastikan setiap rupiah pendapatan daerah benar-benar kembali untuk kepentingan mereka," pungkasnya.
Pewarta : Muh Nurcholis