Banjarnegara, Wartaindonesianews.co id— Malam di Pendopo Dipayudha Adigraha, Jumat (17/10/2025), bukan sekadar pertemuan biasa. Di ruang yang sarat jejak sejarah itu, suasana berubah menjadi laboratorium gagasan — panas, kritis, tapi penuh semangat.
Forum Demokrasi (FORDEM) Banjarnegara menggelar Sarasehan Publik bertajuk “Dana Terbatas, Inovasi Tak Terbatas.” Tema yang terdengar sederhana, tapi sesungguhnya mengandung tantangan besar: mampukah Banjarnegara menembus tembok keterbatasan fiskal dengan kekuatan pikir dan kolaborasi?
FORDEM mengundang seluruh elemen: pemerintah, DPRD, aparat, akademisi, hingga aktivis muda. Bukan sekadar untuk mendengar laporan, tapi untuk menguji keseriusan Banjarnegara menjemput masa depan.
FORDEM: Kritik yang Tak Menyudut, Tapi Membangun Kesadaran
Pembina FORDEM, Mawing Goso, membuka forum dengan nada tegas namun reflektif.
“Kita tidak berkumpul untuk mencari kambing hitam. Kita hadir untuk memastikan Banjarnegara tidak berhenti berpikir.”
Ia menekankan, keterbatasan dana bukan alasan untuk stagnasi.
“Anggaran bisa kecil, tapi visi tak boleh kerdil. Uang bukan penentu masa depan; cara kita berpikir dan mengelola lah yang menentukan.”
Bagi Mawing, FORDEM adalah ruang cermin, bukan panggung tuding. Transparansi, katanya, bukan ancaman bagi pejabat, melainkan jembatan menuju kepercayaan.
“Partisipasi publik bukan gangguan, tapi sumber energi pembangunan.”
Diskusi mengalir pada topik konkret: pengawasan partisipatif, inovasi sektor riil, dan strategi keluar dari ketergantungan dana transfer pusat. Banjarnegara, kata Mawing, harus berani bertransformasi dari daerah penerima menjadi daerah penggerak.
Amalia: “Saya Tak Menyulap, Saya Menyiapkan Fondasi untuk Loncat”
Ketika giliran Bupati dr. Amalia Desiana berbicara, ruang pendopo seakan mengerucut. Nada suaranya tenang, tapi pesannya tajam.
“Saya bukan pesulap. Tidak ada keajaiban dalam pemerintahan. Tapi kami sedang menyiapkan lompatan Banjarnegara.”
Ia bicara dengan data, bukan slogan. Tahun ini, Banjarnegara kehilangan sekitar Rp165 miliar dana transfer dari pusat. Namun Amalia menolak tunduk pada angka.
“Keterbatasan bukan untuk ditangisi, tapi untuk diakali. Pemerintahan yang baik bukan yang punya banyak uang, tapi yang mampu membuat uang bekerja untuk rakyat.”
Ia memaparkan lima misi besar yang kini menjadi poros pembangunan daerah: pemerataan infrastruktur, penguatan ekonomi lokal, peningkatan layanan dasar, kelestarian lingkungan, dan tata kelola yang bersih.
Program prioritas seperti jalan kabupaten mulus, insentif guru keagamaan, pembiayaan UMKM, hingga kawasan industri hijau — menurutnya, bukan janji, tapi agenda kerja nyata.
“Kami tak menjual mimpi, kami bekerja membangun pondasi. Tahun ini kami menata, tahun depan kami melompat,” tegasnya.
Kritik Sebagai Vitamin Demokrasi
Di akhir forum, Amalia memberi apresiasi pada masyarakat yang menjaga ruang demokrasi tetap sehat dan beradab.
“Saya bersyukur Banjarnegara punya masyarakat yang kritis tapi santun. Kritik yang cerdas bukan luka, tapi vitamin bagi demokrasi,” ujarnya.
Ia menyebut stabilitas sosial sebagai modal utama investasi. Salah satu langkah nyata, katanya, adalah menjadikan Kalibening sebagai kawasan investasi baru yang berpotensi tumbuh karena posisinya dekat dengan Kawasan Industri Batang.
“Kami tak mencari investor besar dulu, yang penting pondasi seriusnya ada. Investor hanya datang ke daerah yang punya arah dan stabilitas.”
Banjarnegara : Bukan Menunggu Mujizat, Tapi Membangun Kesadaran Baru
Sarasehan FORDEM malam itu berakhir tanpa gegap gempita, tapi meninggalkan kesan kuat: Banjarnegara sedang berubah arah — dari menunggu menjadi bergerak.
FORDEM menutup dengan kalimat yang menohok:
“Perubahan bukan hasil sulap. Ia lahir dari kesadaran, kerja keras, dan keberanian menempuh jalan panjang.”
Banjarnegara boleh saja punya dana terbatas, tapi jika nalar publik tajam dan pemerintah berani mengeksekusi gagasan, satu hal menjadi jelas: masa depan bukan untuk ditunggu — tapi untuk direbut.
Reportase : Nur S