PANGANDARAN-Wartaindonesianews. Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, mengkritik paradoks di balik Piagam penghargaan yang diterima Pemerintah Kabupaten Pangandaran sebagai Kabupaten dengan Perencanaan Pembangunan Terbaik III Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2025.
Menurutnya, penghargaan yang diberikan oleh Gubernur Jawa Barat itu perlu dibaca secara lebih jernih agar tidak menimbulkan kesalahpahaman publik tentang ukuran keberhasilan pembangunan daerah.
“Ini bukan soal menolak penghargaan, tetapi memahami konteksnya,” ujar Tedi dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Sabtu (18/10/2025).
“Penghargaan itu diberikan atas perencanaan, bukan atas pelaksanaan pembangunan. Artinya, yang diukur adalah keindahan dokumen rencana, bukan efektivitas pelaksanaan di lapangan.” jelasnya.
Tedi menegaskan bahwa secara metodologis, hampir tidak ada Pemerintah Daerah yang memiliki rencana yang buruk.
“Tidak ada Kepala Daerah atau Bappeda yang akan menulis target gagal dalam RPJMD-nya. Semua rencana pasti terlihat indah dan logis di atas kertas,” ujarnya.
“Persoalannya adalah: apa ukuran ‘perencanaan terbaik’ itu? Apakah diukur dari desain dokumen, kesesuaian format, atau dampak nyatanya terhadap kondisi fiskal dan sosial masyarakat?” tanyanya.
Ia menilai, penghargaan tersebut terasa paradoksal karena Pangandaran selama tiga tahun berturut-turut memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan sedang menghadapi persoalan Defisit Anggaran Daerah.
“Itu sebabnya penghargaan ini perlu dilihat dengan nalar kritis. Di satu sisi kita bicara tentang perencanaan terbaik, tapi di sisi lain laporan keuangannya menunjukkan ketidakseimbangan,” katanya.
Menurut Tedi, penghargaan semacam ini seringkali lebih menonjolkan aspek simbolik daripada substansial. Ia menyebut fenomena itu sebagai bentuk “narsisisme birokratis”.
“Kita seperti Narkissos dalam mitologi Yunani yang jatuh cinta pada pantulan dirinya sendiri. Pemerintah Daerah sering kali memuja hasil karyanya di atas kertas, tapi lupa memeriksa kenyataan di lapangan,” ujarnya.
Mengutip pandangan filsuf Marcus Aurelius, Tedi menyatakan bahwa “apa yang seharusnya dilakukan dengan baik tidak layak dipuji, karena itu memang kewajiban.” Ia menilai, perencanaan yang baik dan pelaksanaan yang efektif seharusnya menjadi target dasar pemerintahan, bukan prestasi luar biasa. “Kalau target tercapai, itu bukan prestasi, itu tanggung jawab. Yang perlu dipuji adalah keberanian memperbaiki ketika target tidak tercapai,” tegasnya.
Tedi juga menyinggung sindiran Rocky Gerung tentang budaya presentasi di birokrasi. “Rocky bilang, orang yang suka pakai power point biasanya tidak punya power dan tidak punya point,” katanya sambil tersenyum. “Saya kira itu relevan di sini. Banyak rencana Pemerintah berhenti di layar proyektor, penuh warna dan jargon, tapi tak menyentuh problem defisit dan ketimpangan riil.”
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa secara metodologis, kualitas perencanaan tidak bisa hanya dinilai dari dokumen RPJMD atau Renstra.
“Perencanaan yang baik harus terukur dari output dan outcome-nya: apakah mampu menekan defisit, memperbaiki efisiensi anggaran, dan meningkatkan kesejahteraan warga,” ujarnya.
“Kalau realitasnya justru defisit meningkat dan opini keuangan stagnan di WDP, maka perencanaannya perlu ditinjau ulang, bukan diberi penghargaan.” ungkapnya.
Dalam pandangan Tedi Yusnanda, penghargaan atas perencanaan seharusnya dijadikan bahan refleksi, bukan kebanggaan berlebihan. Ia menilai bahwa penghargaan bisa menjadi pengingat agar Pemerintah memperkuat integrasi antara tahap perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan pembangunan.
“Kita tidak menolak apresiasi, tetapi jangan sampai penghargaan itu mengaburkan evaluasi. Karena pembangunan yang baik diukur dari keberhasilan memecahkan masalah, bukan dari banyaknya piagam yang diterima,” tegasnya.
Ia menutup dengan mengutip filsuf eksistensialis Søren Kierkegaard, bahwa “kebenaran bukan untuk ditemukan, melainkan untuk dihidupi.” Menurutnya, kebenaran pembangunan hanya akan tampak bila rencana yang disusun benar-benar hidup dalam praktik dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
“Selama defisit masih terjadi, opini WDP belum berubah, dan masyarakat belum merasakan hasil dari rencana itu, maka kebenaran pembangunan itu belum dihidupi,” tegas Tedi.
“Dan selembar piagam berbingkai emas belum cukup untuk menutupi kenyataan itu.” pungkas Tedi.
Pewarta: Nur z