• Jelajahi

    Copyright © WARTA INDONESIA NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Tedi Yusnanda N Kritik Ketua DPRD dan Kebijakan Bupati Terkait Kasus Tiket Palsu Pangandaran

    Senin, 14 Juli 2025, Juli 14, 2025 WIB Last Updated 2025-07-14T06:59:34Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     


    PANGANDARAN--Wartaindonesianews, Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, angkat bicara menanggapi polemik kasus dugaan pemalsuan tiket masuk objek wisata Pangandaran yang terungkap pada awal Juli 2025. Ia secara tegas mengkritisi pernyataan Ketua DPRD Pangandaran yang hanya menyerahkan persoalan tersebut ke Inspektorat, serta langkah Bupati yang memilih menghentikan ratusan petugas piket sebagai solusi sementara yang dinilai “dangkal” dan tidak menyentuh akar masalah.


    Menurut Tedi Yusnanda N, kasus ini bukan sekadar kesalahan prosedural atau pelanggaran ringan, tetapi berpotensi menjadi tindak pidana korupsi yang merugikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pangandaran. “Ini soal uang rakyat yang hilang. Kita bicara salah satu sumber utama PAD. Di tengah defisit APBD yang disebut Gubernur Jawa Barat setengah sekarat, kebocoran seperti ini adalah kejahatan serius. Penanganannya tidak bisa setengah hati,” tegasnya.


    Kritik terhadap Ketua DPRD Pangandaran

    Tedi menilai Ketua DPRD Pangandaran gagal memahami skala krisis dengan hanya merespons persoalan ini secara birokratis dengan menyerahkan ke Inspektorat. Ia menilai hal itu bentuk pengalihan tanggung jawab dari fungsi pengawasan legislatif.


    “Inspektorat itu pengawas internal eksekutif. Fungsinya administratif, bukan investigasi pidana atau politik. DPRD itu lembaga pengawasan rakyat. Dalam UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 154 ayat (1) huruf b sudah jelas, tugas DPRD mengawasi pelaksanaan APBD. Kebocoran PAD di sektor wisata ini wajib jadi prioritas mereka. Bukan dilempar ke Inspektorat lalu lepas tangan,” tegas Tedi.


    Ia menilai, DPRD justru harus proaktif membentuk Panitia Khusus (Pansus) sebagaimana diatur Pasal 159 UU No. 23 Tahun 2014 untuk mendalami dan menginvestigasi masalah ini secara menyeluruh. Menurutnya, Pansus bukan sekadar alat politik DPRD, tetapi bentuk tanggung jawab konstitusional agar pengelolaan PAD transparan dan akuntabel.


    “Kalau DPRD hanya pasif, ini preseden buruk. Mereka dipilih untuk menjaga uang rakyat, bukan untuk jadi pengamat,” tegasnya.


    Selain itu, Tedi juga menyoroti kebijakan Bupati yang memberhentikan sementara ratusan petugas piket sebagai solusi cepat atas terungkapnya kasus tiket palsu.


    Menurutnya, kebijakan itu hanya bersifat kosmetik. “Ini penanganan gejala, bukan penyakit. Menghentikan petugas lapangan itu mudah, tapi akar masalahnya ada pada sistem, pengawasan, bahkan kemungkinan konspirasi yang lebih luas,” ujarnya.


    Tedi menilai, tindakan Bupati semacam ini berpotensi menjadi “kambing hitam massal” untuk menenangkan opini publik tanpa membongkar siapa sebenarnya yang merancang, memfasilitasi, atau mendapat keuntungan dari praktik pemalsuan tiket dengan mesin EDC palsu tersebut.


    “Saya khawatir ini akan jadi pola klasik: operator lapangan dikorbankan, aktor intelektual aman. Padahal potensi kerugiannya sistemik, bukan insidental,” lanjutnya.


    Ia menegaskan, akar masalah adalah lemahnya pengawasan, sistem pencatatan dan pembayaran yang mudah dimanipulasi, serta dugaan adanya pembiaran atau keterlibatan oknum pada level lebih tinggi.


    Tedi mendesak Polres Pangandaran untuk melakukan penyidikan tuntas dengan pendekatan follow the money untuk memetakan siapa sebenarnya yang mendapat aliran keuntungan.


    “Follow the money itu prinsip penting. Uang hasil kejahatan meninggalkan jejak. Jangan hanya berhenti di petugas pintu masuk. Bongkar siapa pemilik mesin palsu, siapa koordinator setoran, siapa yang menutup mata,” tegasnya.


    Ia juga menegaskan pentingnya DPRD atau pemerintah daerah menggunakan diskresi, jika memang dianggap perlu, untuk membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang melibatkan unsur masyarakat sipil.


    “Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 22 ayat (1) membolehkan diskresi untuk melancarkan tugas pemerintahan. Ini sangat relevan untuk membentuk TPF. Kita tidak bisa berharap Inspektorat bekerja sendirian atau bekerja tertutup,” katanya.


    Menurut Tedi, penghentian ratusan petugas adalah bentuk manajemen krisis sesaat yang hanya mematikan gejala. “Boleh saja diberhentikan untuk evaluasi, tapi kalau sistem tetap rusak, kalau mesin palsu itu dibiarkan beredar, kalau pengawasan tidak dibenahi, persoalan ini akan muncul lagi. Ini bukan soal 100 orang petugas, tapi kebocoran sistematis di PAD,” katanya.


    “Kita sedang bicara uang publik yang seharusnya membiayai pendidikan, kesehatan, infrastruktur. Dengan APBD Pangandaran defisit, setiap rupiah PAD sangat vital. Jangan sampai kasus ini hanya jadi drama sesaat, lalu hilang seperti banyak kasus sebelumnya,” pungkas Tedi Yusnanda N.

    Pewarta: Nur Z

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini