PANGANDARAN, wartaidonesianews.co.id -- Bincang-bincang bersama Tedi Yusnanda N pegiat Sarasa Institute Pangandaran, terkait adat dan ajaran dalam kewajiban Utang Piutang bagi Terutang dan Pengutang. (Senin, 01/07/2025).
Tedi Yusnanda N memaparkan, kita tumbuh dengan satu ajaran sederhana: "kalau berutang, bayar. Kalau sudah membayar, tunjukkan buktinya".
Orang tua kita menulis di buku tulis: “Utang Ibu ke Bu Rina: lunas tanggal sekian.” Sesuatu yang begitu jelas dan jujur.
Tetapi di kursi kekuasaan, kata “utang” kerap dibalut kabut. Seperti kabar dari Pangandaran yang meluncur enteng: “Utang Pemerintah Daerah sudah dibayar kurang lebih setengahnya.” Kalimat manis itu melayang di udara, menenangkan, tetapi kosong dari kepastian. Tidak disebut mana yang dibayar, tidak dijelaskan kepada siapa uang mengalir. Publik diminta percaya tanpa diberi lampiran.
Padahal angka resminya sudah terang lanjut Tedi. Berdasarkan hasil audit BPK-RI per 31 Desember 2023, saldo utang Pemerintah Kabupaten Pangandaran tercatat sebesar Rp 411,6 miliar. Angka ini bukan rumor atau gosip Politik. Ini catatan resmi Negara, yang memerinci utang seperti bon warung yang belum lunas.
Ada utang untuk belanja pegawai, gaji, dan TPP yang nilainya mencapai Rp 50,5 miliar, yang artinya ada Pegawai menahan napas menunggu hak mereka. Di sisi lain, utang belanja barang dan jasa menumpuk hingga Rp 129,7 miliar.
Angka ini bukan hanya baris di laporan: di dalamnya terkandung honor para pekerja non-PNS, jasa konsultan, pekerjaan PDLD, bahkan utang JKN non-kapitasi yang menahan putaran layanan Kesehatan, ungkap Tedi.
Pemerintah Daerah juga menanggung utang belanja hibah senilai Rp 2,2 miliar, yang di dalamnya terdapat janji kepada Pramuka, KNPI, hingga Pondok Pesantren yang menyiapkan program-program pembinaan generasi muda. Untuk belanja modal peralatan dan mesin, catatan menunjukkan utang sebesar Rp 19,5 miliar yang mengganjal modernisasi sarana.
Belanja gedung dan bangunan pun tak kalah membebani, dengan nilai utang mencapai Rp 21,5 miliar, mencerminkan proyek-proyek fisik yang tertahan pembayarannya, jelasnya.
Belanja pembangunan jalan dan irigasi tercatat Rp 82,2 miliar. Angka ini membayangi warga yang menanti jalan rabat beton atau saluran air yang mencegah banjir. Bahkan ada utang kecil yang tak kalah penting: belanja aset tetap lainnya sebesar Rp 37 juta yang tetap harus dipertanggungjawabkan.
Puncaknya adalah utang jangka pendek lainnya yang menembus Rp 104,7 miliar, yang meliputi kewajiban membayar bagi hasil pajak ke Desa-Desa, utang transfer ke Pemerintah Provinsi, dan utang belanja tak terduga yang mungkin menjadi tumpuan saat darurat.
Semua ini bukan angka mati. Di baliknya ada orang-orang yang menunggu: Pegawai yang menahan harap pada TPP yang tertunda, konsultan yang menagih honor, Kepala Desa yang menantikan transfer bagi hasil untuk membiayai pelayanan warganya, Pengurus Pramuka yang ingin menyelenggarakan kegiatan Pembinaan, Pesantren yang merawat para santri.
Jadi ketika muncul klaim sambung Tedi, “sudah dibayar setengahnya,” pertanyaan paling wajar adalah: yang mana? Apakah belanja pegawai sudah dilunasi semua? Apakah honor non-PNS dan jasa konsultan sudah dibayar? Apakah transfer bagi hasil pajak ke Desa-Desa sudah benar-benar cair? Apakah hibah ke Pramuka dan Pondok Pesantren sudah diterima utuh? Atau hanya sebagian belanja tertentu yang sudah dilunasi sementara lainnya masih menumpuk? Tanpa penjelasan rinci, kalimat itu tak lebih dari kabut yang menutupi jurang.
Sejarah sendiri mengingatkan kita, bahwa utang Pemerintah Daerah bukan hal sepele. Pada awal era otonomi, banyak daerah belanja melampaui kemampuan keuangannya. Pada tahun 2015, Pemerintah Pusat bahkan sampai menerbitkan aturan khusus tentang penanganan utang Pemerintah Daerah, mengingat risikonya yang bisa menjerat generasi mendatang dalam krisis fiskal.
Seperti kata pepatah Romawi Kuno yang diabadikan oleh Publilius Syrus:
“Debt is the slavery of the free.” (Utang adalah perbudakan bagi orang merdeka).
"Kebebasan Daerah untuk mengelola keuangannya menuntut tanggung jawab yang sama besar. Bukan hanya tanggung jawab membayar, tetapi juga menjelaskan dengan jujur". imbuhnya.
Dalam teori ekonomi publik, James Buchanan, peraih Nobel Ekonomi, menulis bahwa prinsip moral utang Pemerintah sebenarnya sama dengan rumah tangga. Semua beban utang pada akhirnya ditanggung Rakyat pembayar pajak di masa depan. Tidak ada ruang untuk menipu atau menyembunyikan fakta.
Ekonomi juga mengenal prinsip Ricardian Equivalence yang mengingatkan kita bahwa Rakyat sebenarnya rasional. Kalau Pemerintah berutang, mereka tahu di masa depan harus membayar lewat pajak. Itu sebabnya mereka berhak penuh tahu ke mana utang itu digunakan, mana yang sudah dibayar, dan mana yang belum. ungkap Tedi.
Dalam komunikasi publik, keterbukaan bukan sekadar hiasan retorika. Ia adalah syarat utama kepercayaan. Harvard Kennedy School menulis:
“Governments that communicate effectively and transparently with citizens increase trust, reduce the cost of compliance, and improve policy outcomes.” (Pemerintah yang berkomunikasi secara efektif dan transparan dengan warganya meningkatkan kepercayaan, mengurangi biaya kepatuhan, dan memperbaiki hasil kebijakan). jelas Tedi.
Karena jika publik tak percaya, biaya Politiknya akan melonjak: penolakan kebijakan, protes, bahkan kebuntuan dialog.
Budaya Sunda sendiri mengenal prinsip silih asah, silih asih, silih asuh. Saling mendidik. Saling menyayangi. Saling membimbing. Pemerintah yang menutupi informasi utang menolak nilai asah, menolak mendidik warganya tentang kondisi keuangan daerah. Ia juga menolak asih, mengabaikan kepedulian pada hak publik untuk tahu. Dan menolak asuh, gagal membimbing masyarakat dengan kejujuran.
Kalau sekarang hanya dilempar kalimat setengah lunas tanpa rincian, maka prinsip itu diinjak-injak.
Maka pertanyaan publik menjadi sederhana tetapi penting: mana yang sudah dibayar? Apakah utang bagi hasil pajak ke Desa-Desa sudah benar-benar cair semua? Apakah utang JKN non-kapitasi sudah lunas ke BPJS? Apakah hibah untuk Pramuka, KNPI, dan Pondok Pesantren sudah diterima penuh? Apakah honor untuk non-PNS dan jasa konsultan sudah tidak ada yang menunggak? Apakah proyek jalan dan irigasi sudah dibayar dan dilanjutkan?
Tanpa jawaban jelas, klaim “setengah” hanyalah mitos. Seperti dongeng pengantar tidur agar publik tenang dan berhenti bertanya.
“It is not the debt itself that is the problem. It is the lie about the debt,” John Kenneth Galbraith.
(Bukan utang itu sendiri yang jadi masalah. Tapi kebohongan tentang utang).
Dalam Republik, rakyat bukan budak yang tak berhak tahu. Pajak adalah kontrak sosial. Utang adalah janji kolektif. Membayar utang adalah cara menepati janji. Dan transparansi adalah prasyarat agar janji itu sah.
Karena tanpa transparansi, Pemerintah bukan sedang membereskan utang. Mereka hanya menunda amarah rakyat yang kelak akan menagih, dengan cara yang lebih mahal.
Anomali ini tak bernama. Karena ia bukan hanya masalah angka. Ia adalah soal etika. Soal moral. Soal kejujuran. tutup Tedi dalang bincangannya.
Pewarta: Nur Z