PANGANDARAN-Wartaindonesianews.co.id-- Upaya Forum Diskusi Masyarakat Pangandaran (Fokus Mapan) untuk mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Pangandaran guna menginvestigasi dugaan penyimpangan dalam pengelolaan tiket masuk kawasan wisata, mengalami tantangan yang tak bisa diabaikan. Menurut Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute sekaligus pegiat Fokus Mapan, kendala tersebut muncul dari belum terbangunnya kesepahaman yang utuh antar Partai Politik. Senin, (04/08/2025).
“Beberapa partai yang kami datangi, seperti Golkar, PKB, PKS, dan Gerindra, memang telah menyambut baik. Tapi tidak semua pihak hadir dalam pertemuan yang konon mereka gelar sebagai konsolidasi. Ada pula yang kemudian menyampaikan bahwa mereka merasa tak diundang. Situasi semacam ini tentu menimbulkan pertanyaan,” ujar Tedi dalam keterangan resminya.
Bagi Tedi, kegagalan menjalin komunikasi dan membentuk simpul komitmen bersama di antara partai-partai bukan sekadar masalah teknis. Ia menilai, gejala ini patut dicermati sebagai potensi penghambat lahirnya Pansus, bahkan bisa mengarah pada upaya sistematis untuk mengendorkan semangat pengusutan.
“Jika ada partai yang absen dalam dialog publik sekelas ini, kita patut bertanya: apakah ini sekadar ketidaktahuan, bentuk pembiaran, atau sengaja tidak diundang? Jangan-jangan, ada skenario penggembosan yang halus, yang bertujuan agar Pansus gagal lahir dari rahim parlemen,” ucapnya dengan nada prihatin.
Fokus Mapan Akan Lanjutkan Audensi ke Tiga Partai
Meski begitu, Fokus Mapan belum menyerah. Langkah untuk menggalang dukungan terus digulirkan, termasuk dengan menyambangi tiga partai yang belum sempat didatangi secara formal: PPP, PDIP, dan PAN.
“Ini bukan soal warna bendera partai, ini soal komitmen menyelamatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan keberlangsungan APBD yang kini sedang mengalami Defisit. Masyarakat pasti akan mencatat siapa yang benar-benar serius, dan siapa yang hanya sekadar ikut arus,” tambah Tedi.
Ia menekankan, kehadiran Pansus bukanlah sekadar manuver Politik. Melainkan upaya sistematis dan konstitusional untuk membuka terang dugaan kebocoran dalam pengelolaan keuangan daerah. “Apabila partai Politik memilih diam, maka itu akan menjadi preseden buruk bagi Demokrasi lokal,” katanya.
Tedi menyitir gagasan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan, bahwa kejahatan seringkali tidak lahir dari niat jahat yang mengerikan, melainkan dari kelengahan dan sikap masa bodoh terhadap hal-hal yang semestinya diperjuangkan.
Korupsi Tak Lagi Bekerja Sendiri
Menurut Tedi, pengelolaan tiket wisata yang diduga bocor tidak bisa dilihat sebagai insiden tunggal. Ia memandang, ada struktur kuasa yang berjalan secara diam-diam namun teratur, memanfaatkan celah dalam sistem dan teknologi digitalisasi.
“Sistem digital itu semestinya transparan. Tapi jika justru digunakan untuk menyembunyikan jejak, maka kita tengah berhadapan dengan skema kejahatan terorganisir yang menyatu antara aktor konvensional dan kekuatan digital. Ini bukan main-main,” ujarnya.
Tedi mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sangat jelas mengatur sanksi berat bagi siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan dan merugikan keuangan Negara.
Momentum Moral untuk Partai Politik
Di akhir keterangannya, Tedi menegaskan bahwa gerakan ini tidak sedang membangun wacana perlawanan, melainkan memperkuat panggilan moral bagi semua partai Politik. Fokus Mapan akan tetap melangkah tanpa kepentingan Politik praktis, melainkan karena dorongan etik dan keprihatinan publik.
“Pansus bukan untuk menjatuhkan siapa-siapa. Tapi untuk memastikan Rakyat tidak terus-menerus dirugikan. Jika partai-partai Politik tidak menunjukkan kesungguhan, maka itu akan menjadi catatan sejarah yang kelak dibaca generasi setelah kita,” pungkasnya.
Pewarta: Nur Z