Pangandaran, wartaindonesianews.co.id --Sekligud Direktur Eksekutif Sarasa Institute, terkait sikap Bupati Pangandaran, Citra Pitriyami. Menurut Tedi yang dihubungi melalui sambungan telepon, permohonan audiensi yang diajukan Fokus Mapan kepada Bupati sama sekali tidak digubris. Ironisnya, surat pertama justru hanya diterima dan dialihkan kepada Inspektorat untuk mewakili.
“Ini mencerminkan ketidakseriusan Bupati dalam menyikapi persoalan serius, yaitu dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola karcis masuk wisata. Padahal, kaitannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat signifikan,” tegas Tedi dalam keterangannya, Kamis (18/9).
Tedi menilai, sikap abai ini semakin menguatkan kesan bahwa pemerintah daerah menutup mata terhadap indikasi penyimpangan. Apalagi, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk ketiga kalinya memberikan predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada laporan keuangan Pemkab Pangandaran. “Ini alarm keras. Predikat WDP ibarat rapor merah yang diulang-ulang. Bayangkan, jika sekolah tiga tahun berturut-turut muridnya tidak lulus mata pelajaran yang sama, tentu gurunya yang patut dipertanyakan. Begitu pula Pemkab Pangandaran: apakah sengaja dibiarkan atau memang tidak mampu memperbaiki?” ujarnya.
Dalam pandangan Tedi, ketidakpedulian ini menyinggung langsung rasa keadilan masyarakat. Ia mempertanyakan, “Untuk apa tiket masuk wisata disebut sebagai PAD, jika pada akhirnya hanya memperkaya segelintir orang saja?”
Lebih jauh, Tedi mengingatkan bahwa sejarah peradaban sering kali dipicu oleh hal-hal yang dianggap sepele namun berdampak besar. Ia menyinggung peristiwa Revolusi Prancis, ketika rakyat menyerbu Bastille bukan semata karena kelaparan, tetapi karena muak pada simbol ketidakadilan yang dibiarkan. Ia juga mengutip mitos Yunani tentang raja Midas, yang dengan keserakahannya mengutuk dirinya sendiri karena setiap yang disentuh berubah jadi emas—namun tak bisa dimakan. “Ketidakadilan kecil yang dibiarkan bisa menjadi bara api, dan keserakahan yang dilegalkan hanya akan menghancurkan sendi-sendi kekuasaan itu sendiri,” ujarnya.
Lebih dekat dengan sejarah Nusantara, Tedi mengingatkan pemberontakan petani Banten 1888. Kala itu, rakyat bangkit karena diperas pajak kolonial yang kecil nilainya, namun menggerogoti hidup mereka setiap hari. “Sejarah Indonesia mengajarkan, beban kecil yang dianggap remeh oleh penguasa bisa meledak menjadi perlawanan besar. Di Pangandaran, tiket wisata yang semestinya menjadi berkat bagi masyarakat justru berubah menjadi alat memperkaya segelintir orang. Inilah pola kolonialisme gaya baru yang seolah diulang,” tegasnya.
“Bayangkan, masyarakat masuk wisata, membayar tiket dengan harapan uangnya kembali dalam bentuk pembangunan daerah. Tapi kenyataannya, uang itu dinikmati oleh mereka yang diuntungkan dari sistem yang rusak. Inilah bibit-bibit amarah publik. Sejarah mencatat, revolusi lahir bukan dari isu besar, melainkan dari rasa muak pada ketidakadilan kecil yang dibiarkan,” ucap Tedi.
Ia pun menilai sikap Bupati Pangandaran saat ini menunjukkan lemahnya jiwa kepemimpinan. “Seorang pemimpin harus punya sense of belonging terhadap persoalan rakyatnya. Namun, yang tampak justru kebisuan, sikap bungkam, dan menunggu seolah-olah masalah akan selesai dengan sendirinya. Ini bukan hanya abai, tapi juga mempertontonkan leadership yang rapuh di hadapan publik,” katanya menutup pernyataan.
Tedi menegaskan, Fokus Mapan bersama masyarakat akan terus mendesak agar dugaan korupsi dalam pengelolaan karcis wisata diusut secara tuntas. Baginya, membiarkan kasus ini berarti merelakan uang rakyat dialirkan ke kantong-kantong pribadi tanpa tanggung jawab.
Pewarta: Nur Z