• Jelajahi

    Copyright © WARTA INDONESIA NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menu Bawah

    Tedi Yusnanda Nilai Klaim Iwan M. Ridwan Soal Kinerja Fiskal Solid Sebagai Gimmick Politik

    21 Okt 2025, 10:58 WIB Last Updated 2025-10-21T03:58:06Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    PANGANDARAN-Wartaindonesianews. “Efisiensi Pusat Itu Bukan Sebab, Tapi Alibi Baru untuk Menutupi Carut-Marut Keuangan Daerah,” ujar Tedi membuka pembicaraan. (Senin, 20/10/2025)

    Menanggapi pernyataan Iwan M. Ridwan, anggota DPRD Kabupaten Pangandaran, yang menyebut kinerja fiskal daerah “solid” meski dana transfer dari Pusat akan turun sebesar Rp144 miliar, Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, menilai klaim tersebut tidak sesuai fakta dan berpotensi menyesatkan publik.

    Menurut Tedi, pernyataan Iwan bukan saja tidak berdasar secara data, tetapi juga berpotensi mengalihkan sorotan publik dari persoalan utama, yaitu buruknya tata kelola keuangan daerah sebagaimana tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun Anggaran 2024.

    “Kalau keuangan daerah sedang carut-marut, lalu ada pihak yang menyebutnya solid, itu seperti memuji kapal bocor karena masih bisa mengapung,” ujar Tedi membuka kritiknya.

    BPK Sudah Tegas: Ini Bukan Sekadar Catatan Teknis, Tapi Bukti Kegagalan Sistemik.

    Tedi menjelaskan bahwa opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Pangandaran sudah diberikan tiga tahun berturut-turut: 2022, 2023, dan 2024.

    “Kalau tiga tahun berturut-turut BPK memberikan opini WDP, itu artinya bukan ada kesalahan kecil, tapi ada sistem yang tidak pernah dibenahi. Ini menunjukkan bahwa Pemkab Pangandaran gagal menjalankan reformasi keuangan daerah,” katanya.

    Berdasarkan LHP BPK 2024, kata Tedi, Saldo Kas Daerah per 31 Desember 2024 hanya Rp679 juta, dan ironisnya di dalam kas itu terdapat Rp188,1 miliar dana transfer Pusat (DAK, DBH, DID) yang digunakan untuk menutup defisit.

    “Ini jelas melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 298 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dana transfer itu bersifat earmarked, artinya hanya boleh digunakan untuk kegiatan tertentu. Tapi Pemkab Pangandaran justru menggunakannya untuk menambal defisit. Ini bukan hanya tidak tertib, tapi juga menunjukkan mentalitas pengelolaan APBD yang menyimpang,” jelas Tedi.

    Selain itu, utang jangka pendek Pemkab mencapai Rp49,8 miliar, terdiri atas pinjaman BLUD RSUD Rp17,8 miliar, utang belanja barang dan jasa Rp23,4 miliar, serta bunga pinjaman Rp8,6 miliar.

    “Itu artinya 15,5 persen dari PAD sebesar Rp320 miliar habis untuk membayar utang. Sementara realisasi belanja modal juga bermasalah, BPK menemukan selisih pekerjaan proyek fisik sebesar Rp22,6 miliar, yang berarti proyek tidak sesuai kontrak. Kalau ini bukan kegagalan sistem, lalu apa?” tanya Tedi retoris.

    Program Efisiensi Pusat Jadi Alibi Baru untuk Menutupi Luka Lama.

    Tedi menyebut bahwa narasi soal “pengetatan anggaran dari pusat” atau “program efisiensi” yang disebut Iwan dan sebagian Pejabat Pemkab tidak ada relevansi dan korelasi sebagai alasan apapun kedepannya.

    “Program efisiensi dari pusat baru berjalan tahun 2026. Tapi temuan BPK yang berat sudah ada sejak 2022 hingga 2024. Jadi kalau pembangunan tersendat, itu bukan karena efisiensi dari Pusat, tapi karena uang daerahnya sendiri tidak dikelola dengan benar,” jelas Tedi.

    Menurutnya, efisiensi pusat justru memperlihatkan betapa rapuhnya struktur keuangan Pangandaran.

    “Kalau APBD-nya sehat, dikurangi Rp144 miliar sekalipun tidak akan mengguncang terlalu parah. Tapi karena memang sudah berantakan, efisiensi pusat itu justru jadi ‘beban tambahan’ bagi kas daerah yang sudah defisit,” katanya.

    Simulasi Fiskal: “Tanpa Efisiensi Pun Pangandaran Tetap Defisit.

    Untuk menggambarkan logika sederhananya, Tedi membuat simulasi berbasis data BPK dan asumsi makro APBD:

    “Kita asumsikan APBD Pangandaran tahun 2024 sebesar Rp1,9 triliun dengan PAD Rp320 miliar. Lalu BPK menemukan total salah kelola senilai Rp260,5 miliar. Artinya, dari Rp1,9 triliun uang rakyat, yang benar-benar efektif digunakan hanya sekitar Rp1,64 triliun.”

    “Sekarang kalau Pemerintah Pusat melakukan efisiensi dan mengurangi transfer Rp144 miliar, maka APBD turun menjadi sekitar Rp1,76 triliun. Setelah dikurangi salah kelola Rp260,5 miliar, sisa efektifnya tinggal Rp1,49 triliun. Itu berarti efisiensi pusat cuma memperburuk luka lama, bukan penyebab baru. Tanpa efisiensi pun, Pangandaran sudah defisit karena sistemnya rusak,” terang Tedi.

    “Logikanya sederhana: jangan salahkan orang yang mengencangkan sabuk, kalau sebenarnya celananya dari dulu sudah longgar.”

    Penyehatan Fiskal yang Sekadar Gimmick Politik

    Tedi menilai rencana “penyehatan fiskal” yang akan dijalankan Pemkab dan DPRD Pangandaran pada 2025 - 2026 hanyalah gimmick Politik untuk menenangkan publik, bukan solusi struktural.
     
    “Saya baca di banyak pernyataan Pejabat, katanya mau ada efisiensi, pengendalian belanja, dan peningkatan PAD. Tapi faktanya, struktur belanja pegawai dan belanja tidak langsung masih menekan lebih dari 40 persen APBD. Jadi apa yang mau disehatkan kalau penyakitnya tidak pernah diobati?” ujarnya.

    Tedi menjelaskan secara teoritis bahwa penyehatan fiskal sejati bukan soal angka defisit, tapi soal struktur dan kejujuran anggaran. 

    “Menurut teori ekonomi publik, efisiensi fiskal hanya bisa terjadi kalau pemerintah menjalankan tiga hal: transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan anggaran. Kalau tiga hal ini tidak ada, maka program efisiensi hanya menjadi upacara administratif untuk menutupi krisis keuangan yang sesungguhnya.”

    Efisiensi Tidak Bisa Dijadikan Tumbal Politik untuk Menyalahkan Pusat

    Lebih jauh, Tedi menuding adanya upaya terselubung dari pihak tertentu untuk menyiapkan alibi Politik: bila nanti pembangunan atau pelayanan publik tersendat di 2025 - 2026 mereka bisa menyalahkan program efisiensi dari Pusat.

    “Saya khawatir, kalau nanti sekolah-sekolah kekurangan BOSDA, jalan-jalan tak diperbaiki, atau proyek tertunda, akan muncul narasi: ‘ini semua karena Pemerintah Pusat melakukan efisiensi’. Padahal tanpa efisiensi pun, keuangan Pangandaran memang sudah amburadul sejak 2022. Jadi itu bukan efek efisiensi, tapi efek kelalaian mengelola uang publik,” tegasnya.

    “Jangan jadikan efisiensi Pusat sebagai tumbal Politik untuk menutupi ketidakmampuan daerah. Ini seperti menyalahkan termometer karena demamnya tinggi.”

    Teori dan Fakta: Defisit Bukan Soal Uang, Tapi Soal Tata Kelola.

    Secara teoritis, Tedi menjelaskan bahwa defisit anggaran daerah tidak selalu buruk jika disertai governance yang kuat dan arah pembangunan produktif.
    Namun di Pangandaran, defisit menjadi indikator disfungsi fiskal, bukan strategi ekonomi.

    “Defisit Pangandaran itu tidak produktif. Karena uang yang seharusnya membangun, justru menutup kesalahan tahun lalu. Itulah bedanya defisit pembangunan dengan defisit akibat salah kelola. Defisit pembangunan menambah nilai ekonomi, sedangkan defisit karena salah urus menambah hutang moral,” ujarnya.

    “Penyehatan Fiskal Itu Bukan Mengurangi Angka, Tapi Menambah Kejujuran” jelasnya.

    Menutup pernyataannya, Tedi menyampaikan kritik moral:
    “Penyehatan fiskal sejati itu bukan menurunkan defisit, tapi menaikkan kejujuran. Kalau uang publik masih dianggap dompet kekuasaan, maka setiap tahun kita akan bicara efisiensi, tapi tidak pernah bicara etika.”

    “Defisit Pangandaran tidak akan turun selama pola pikir Pejabatnya tidak berubah. Karena defisit bukan soal uang kurang, tapi soal mental akuntabilitas yang bocor,” pungkasnya.
    Pewarta: Nurzaman 
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini