PANGANDARAN, wartaindonesianews.co.id - Wartanindonesianews. Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, menilai penanganan dugaan korupsi dalam pengelolaan tiket wisata di Kabupaten Pangandaran berjalan sangat lamban dan tidak transparan. Padahal, kasus ini bermula dari peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang seharusnya menjadi pintu masuk penegakan hukum yang jelas dan cepat. (Kamis, 06/11/2025).
Dalam pernyataannya kepada media, Tedi menyampaikan apresiasi kepada Aliansi Wartawan Pasundan (AWP) yang konsisten menjaga fungsi kontrol sosial melalui pemberitaan yang kritis dan berimbang terhadap persoalan ini. “Peran media dalam mengawal isu publik adalah bagian penting dari demokrasi lokal. AWP telah berkontribusi besar menjaga agar persoalan ini tetap berada dalam radar kesadaran publik,” ujarnya.
Sementara itu, Forum Diskusi Masyarakat Pangandaran (Fokus Mapan) dinilai sudah melakukan langkah-langkah advokasi publik yang konstruktif. Mereka telah melakukan audiensi dengan sejumlah pihak, mulai dari Kapolres Pangandaran, Pimpinan Partai Politik di DPRD, hingga menyampaikan surat permohonan audiensi kepada Bupati Pangandaran sebanyak tiga kali—namun hingga kini belum mendapat respons.
“Upaya Fokus Mapan sudah cukup menunjukkan komitmen moral masyarakat sipil. Namun ketika suara publik tak direspons oleh penguasa daerah, itu menandakan ada sumbatan serius dalam komunikasi Politik dan Pemerintahan,” kata Tedi.
Berbeda dengan Fokus Mapan yang bergerak dalam ranah sosial advokasi, Sarasa Institute kini mengambil langkah strategis dengan melaporkan serta mengawasi langsung proses hukum di Polres Pangandaran. Menurut informasi yang diterima Tedi, Polres telah mengirimkan surat permintaan penghitungan kerugian Negara kepada Inspektorat. Namun, hingga kini belum ada jawaban resmi dari lembaga pengawasan internal tersebut.
“Kami masih menelusuri validitas informasi itu. Tapi bila benar surat itu sudah dikirim dan tidak direspons, maka patut diduga ada upaya pembiaran atau bahkan penundaan yang disengaja. Ini menyalahi prinsip due process of law sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,” tegasnya.
Tedi menilai, kejanggalan dalam kasus ini semakin terasa karena tidak ada satu pun pihak yang ditetapkan sebagai tersangka, meski kasus ini berawal dari OTT yang dilakukan aparat penegak hukum. “Dalam logika penegakan hukum, OTT adalah bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tersangka. Ketika tidak ada tersangka sampai sekarang, itu berarti ada yang ditahan—bukan oleh hukum, tapi oleh kepentingan,” ujarnya.
Lebih jauh, Tedi mengingatkan bahwa Bupati Pangandaran sendiri pernah secara terbuka menyatakan bahwa jika kasus ini diungkap tuntas, maka mereka yang terlibat akan dihukum. “Pernyataan itu kontradiktif. Jika benar demikian, maka mengapa penegak hukum tak melanjutkan prosesnya? Apakah karena yang terlibat adalah warga Pangandaran sendiri? Padahal Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap Warga Negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum tanpa kecuali,” tambahnya.
Menurut Tedi, sikap diam dan lambannya respons Aparat maupun Pemerintah Daerah bukan hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap tata kelola keuangan Daerah. Di tengah kondisi defisit APBD yang disebut oleh Dedi Mulyadi sebagai “Kabupaten setengah sekarat”, dugaan kebocoran retribusi wisata seharusnya menjadi prioritas untuk dibenahi.
“Kasus ini adalah cermin dari lemahnya kemauan Politik untuk menegakkan integritas Daerah. Ini bukan hanya soal uang tiket, tapi tentang moral kekuasaan dan kejujuran publik. Jika Pangandaran ingin bangkit, maka ia harus berani membersihkan dirinya sendiri,” pungkas Tedi Yusnanda N.
Pewarta: Nur Z
