Palu, Wartaindonesianews.co.id - Yayasan Masyarakat Madani Indonesia (YAMMI) Sulawesi Tengah menyatakan akan segera menempuh upaya hukum praperadilan menyusul diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus dugaan pemalsuan dokumen Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) yang dilakukan oleh PT Bintang Delapan Wahana (PT BDW) pada 24 Oktober 2025, berdasarkan rekomendasi Bareskrim Polri.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Kampanye YAMMI Sulawesi Tengah, Africhal Khamane’i, melalui rilis persnya pada Rabu 26 November 2025.
Africhal menegaskan bahwa penerbitan SP3 tersebut merupakan bentuk manipulasi fakta hukum yang mengabaikan bukti-bukti pemalsuan dokumen yang telah terungkap.
“Yang terjadi di sini adalah manipulasi fakta kesalahan. Bagaimana mungkin IUP yang diterbitkan oleh Pemda Konawe Utara kemudian diakomodir dan digunakan di wilayah Sulawesi Tengah? Ini jelas pemalsuan yang merugikan negara dan masyarakat,” tegas Africhal.
Kasus ini menjadi semakin penting mengingat keterkaitan PT BDW dengan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang tengah disorot secara nasional terkait skandal bandara ilegal yang beroperasi tanpa pengawasan Bea Cukai dan Imigrasi.
PT IMIP merupakan konsorsium yang melibatkan Bintang Delapan Group Indonesia dan Tsingshan Steel Group dari Tiongkok, dan kini menjadi perhatian publik karena dinilai beroperasi tanpa otoritas negara.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebelumnya menegaskan prinsip “Tidak boleh ada republik di dalam republik”, yang mengisyaratkan adanya anomali serius terhadap kedaulatan negara. Temuan tersebut menguatkan dugaan bahwa perusahaan-perusahaan dalam konsorsium itu beroperasi tanpa mematuhi hukum yang berlaku.
Kasus dugaan pemalsuan dokumen IUP PT BDW sendiri dilaporkan oleh PT Artha Bumi Mining pada 13 Juli 2023. Dugaan pemalsuan tersebut menyasar Surat Dirjen Minerba Nomor 1489/30/DBM/2013 tertanggal 3 Oktober 2013, yang diduga digunakan PT BDW untuk memindahkan lokasi IUP dari Kabupaten Konawe ke Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
Polda Sulawesi Tengah bahkan telah menetapkan tersangka berinisial FMI sejak 13 Mei 2024 dan menahannya pada Juli 2024. Bareskrim Polri juga telah melakukan gelar perkara khusus pada 12 Juni 2024. Namun, alih-alih dilanjutkan ke pengadilan, perkara ini justru dihentikan melalui SP3.
“Kasus PT BDW bukan berdiri sendiri. Ini bagian dari pola sistemik pelanggaran hukum pertambangan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar yang merasa kebal hukum,” ujar Africhal.
“Saat bangsa ini sedang berbenah dengan mengungkap bandara ilegal PT IMIP yang mengancam kedaulatan negara, di sisi lain kasus pemalsuan dokumen IUP yang jelas-jelas merugikan negara justru dihentikan. Ini tidak masuk akal!," tambahnya.
YAMMI Sulawesi Tengah mencatat bahwa pemalsuan dokumen IUP PT BDW telah menyebabkan tumpang tindih wilayah pertambangan dengan lima perusahaan lain, termasuk PT Artha Bumi Mining dengan luas 10.160 hektare. Selama 10 tahun terakhir, PT Artha Bumi Mining tidak dapat berkontribusi kepada negara akibat tindakan PT BDW.
YAMMI akan mengajukan praperadilan untuk menguji legalitas SP3 tersebut.
“Kami akan membuktikan di pengadilan bahwa penghentian penyidikan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Bukti-bukti pemalsuan sudah jelas, tersangka sudah ditetapkan dan ditahan, bahkan Bareskrim sudah turun tangan. Tidak ada alasan logis untuk menghentikan perkara ini,” tegas Africhal.
Africhal juga mengingatkan bahwa Presiden Prabowo sejak 2014 telah menyuarakan keprihatinan tentang kebocoran di sektor pertambangan.
"Kasus bandara ilegal PT IMIP yang kini terungkap membuktikan apa yang dikhawatirkan Pak Prabowo selama ini. Dan PT BDW adalah bagian dari konsorsium yang sama. Negara tidak boleh kalah dari oligarki tambang yang menginjak-injak hukum,” ujarnya.
YAMMI Sulawesi Tengah menduga adanya tekanan dan intervensi terhadap proses hukum mengingat besarnya kepentingan ekonomi yang terlibat.
“Kami sudah menerima ancaman dan intimidasi. Tapi kami tidak akan mundur. Kedaulatan negara dan keadilan harus ditegakkan,” pungkas Africhal.
Pewarta: Junaidi AM
